- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Taman batu Jepang (Karesansui? arti harfiah: lanskap kering) atau taman Zen adalah salah satu gaya dalam taman Jepang. Taman jenis ini tidak menggunakan air. Lanskap alam dilukiskan dengan batu dan pasir yang melambangkan kolam dan aliran air. Orang yang melihat diminta untuk berimajinasi bahwa hamparan pasir berwarna putih dan kerikil adalah permukaan air. Jembatan dibangun untuk memberi kesan ada aliran air di bawahnya. Pola-pola pada hamparan pasir ditata dengan penggaruk bambu untuk melambangkan aliran air.
Taman ini bersifat abstrak, dan terutama berkembang di kuil-kuil Zen pada zaman Muromachi sehingga juga dikenal sebagai taman Zen. Meskipun demikian, taman batu sudah merupakan salah satu bagian dari beberapa gaya taman Jepang dari zaman-zaman sebelumnya, misalnya di taman gaya kaiyū dan taman gaya shinden-zukuri yang dibangun di rumah kediaman resmi daimyo. Setelah meningkatnya kepopuleran taman batu pada zaman Muromachi, taman batu Jepang diterima sebagai salah satu gaya taman Jepang. Berbeda dari gaya dan model taman Jepang lainnya, taman batu Jepang sama sekali tidak memerlukan air. Oleh karena itu, taman batu memungkinkan orang membuat taman Jepang di tempat sulit air.
Taman batu yang mewakili taman gaya ini adalah taman batu Daitoku-ji dan Saihō-ji di Kyoto. Taman batu Jepang yang paling terkenal berada di Ryōan-ji, Kyoto. Taman batu di Ryōan-ji hanya terdiri dari 15 buah batu di atas hamparan pasir yang dikelilingi tembok. Di taman batu Ryōan-ji hanya ada pasir dan batu, tidak ada pohon atau semak. Dilihat dari sudut mana pun (kecuali dari atas), di taman batu Ryōan-ji hanya terlihat 14 buah batu.
Karesansui (lanskap kering) mengandung pohon-pohon dan tanaman yang berubah dengan musim masing-masing. Mereka terus diukir dalam rangka untuk meningkatkan pengalaman mereka ciptakan. Struktur kebun dibentuk oleh arsitektur apa yang di sekitarnya. Bangunan, teras, verrandas, dan struktur lainnya semua dimasukkan ke dalam taman. Konsep Buddha yin dan yang sering digunakan untuk menyeimbangkan aspek kebun. Dalam beberapa tahun terakhir, kebun rock telah menjadi populer dengan orang-orang di seluruh dunia sebagai cara yang bagus untuk memaksimalkan ruang-ruang kecil untuk keindahan yang paling estetika.
Salah satu taman batu yang paling terkenal di Jepang terletak di barat laut Kyoto, Jepang di Kuil Ryoan-ji (Kuil Naga Damai). Taman Ryoan-ji adalah tiga puluh meter dalam meter panjang dan lebar sepuluh. Tidak ada pohon yang disertakan dan hanya lima belas batu, beberapa di antaranya ditutupi dengan lumut. Batuan ini disusun dalam meraup pasir putih. Cara lima belas batu yang disusun sedemikian rupa sehingga hanya empat belas dari mereka dapat dilihat pada satu waktu dari sudut yang diberikan. Tidak ada desainer tunggal dikreditkan dengan merancang taman. Meskipun, banyak orang percaya bahwa itu berkenan oleh Soami dan Daisen-in. Hal ini bertentangan dengan catatan sebenarnya taman dan bahkan sebuah prasasti di bagian belakang salah satu batu. Prasasti itu meliputi nama Hikojiro dan Kotaro. Hal ini berpikir bahwa ini bisa saja pekerja yang benar-benar membangun taman secara fisik.
The Ryoan-ji menerima penunjukan UNESCO sebagai situs Warisan Dunia pada tahun 1994. Candi ini memiliki sejarah yang sangat panjang, namun diperkirakan bahwa taman batu terkenal dibangun pada abad keenam belas. Semua berbagai elemen taman batu Jepang dimaksudkan untuk melambangkan sesuatu. Pasir atau kerikil adalah simbol dari laut. Batuan dimaksudkan untuk melambangkan pulau-pulau di laut dan juga kolam ibu harimau dengan anak-anaknya untuk menjadi dengan naga. Batuan juga membentuk bagian dari apa yang dikenal sebagai kanji yang digunakan untuk pikiran dan hati. Ia juga telah mengatakan bahwa citra subliminal pohon dibuat dalam pikiran pemirsa dengan melihat bagaimana batu-batu di taman diletakkan. Ini sebenarnya terlihat di celah antara batu aktual dan adalah proyek apa rasa tenang dan ketenangan ke dalam pikiran dari penampil.
Meskipun tradisi Jepang tidak secara khusus mendukung spekulasi, sulit bagi siapa pun untuk menyangkal bahwa taman batu adalah tempat yang tepat untuk berlatih meditasi tenang.
Sejarah
Menurut sejarah taman batu Jepang yang ditulis oleh Matsu Yoshikawa[1], dokumen tertua mengenai taman Jepang yang pertama adalah "pulau" yang dibangun Soga no Umako di tepi Sungai Asuka pada masa pemerintahan Maharani Suiko (sekitar 620). Berdasarkan ide tersebut, di rumah kediamannya, Pangeran Kusakabe membangun taman untuk menggambarkan lanskap alam yang terdiri dari pulau berukuran sedang, jembatan, kolam, dan pantai berbatu-batu.
Pada zaman Nara, Taman Tōin di Istana Heijō dibangun dengan menggunakan batu-batu untuk menggambarkan pemandangan laut, tepi sungai, tepi laut, dan air yang mengalir. Sepanjang zaman Heian populer taman-taman yang dibangun dengan kolam berukuran besar, seperti di Shinsen-en dan vila kekaisaran di luar kota Kyoto. Sewaktu menggambarkan lanskap alam, air merupakan elemen dasar dalam taman Jepang waktu itu. Taman-taman pada zaman Heian umumnya dibangun oleh para biksu. Sepanjang paruh kedua zaman Heian hingga zaman Kamakura dikenal biksu-biksu ahli pertamanan (ishitadesō). Sewaktu biksu membangun kuil Buddha, mereka juga merancang tata letak kuil, termasuk taman untuk kuil. Pembangunan taman waktu itu didasarkan oleh tradisi pertamanan Jepang yang dipadukan dengan filsafat Zen, serta seni, budaya, dan filsafat dari Cina.
Ketika membangun kuil Buddha di kawasan kota-kota yang sulit air, para biksu juga diharuskan harus membangun taman kuil. Kesulitan air menjadikan mereka membangun taman dari batu-batu yang disebut karesansui. Dalam analogi yang ekstrem, lanskap alam seperti sungai dan gunung dapat dilambangkan hanya dengan sebuah batu. Sebuah batu diimajinasikan sebagai sebuah gunung, seluruh lanskap, atau seluruh kosmos seperti hanya penggambaran lanskap alam dalam seni abstrak bonseki dan sumi-e.
Teknik pertamanan berkembang pesat di Jepang pada zaman Muromachi berkat taman batu Jepang yang dirancang dan dibangun oleh Zenami. Shogun Ashikaga Yoshimasa sangat dipengaruhi pemikiran dari ahli pertamanan bernama Musō Soseki, dan mempekerjakan Zenami walaupun ia berasal dari kalangan rendah (kawaramono).
Komentar
Posting Komentar